Danantara menyoroti modal minimum atau capital requirement untuk perusahaan asuransi di Indonesia yang masih rendah dibanding mayoritas negara tetangga di ASEAN.
Kondisi ini membuat perusahaan asuransi di Indonesia memiliki keterbatasan dalam menahan dan mengelola risiko besar.
Managing Director/Chief Economist Danantara, Reza Y Siregar, dalam pemaparannya menuturkan saat ini modal minimum perusahaan asuransi di Indonesia kurang dari USD 9 juta atau sekitar Rp 150,26 miliar (kurs Rp 16.695 per Dolar AS pukul 11:35 WIB).
“Capital requirement kita itu masih relatively low. Ini dibandingkan dengan teman-teman kita atau tetangga kita saja (ASEAN). Jadi kebutuhan capital karena mereka adalah saingan dekat kita,” kata Reza dalam acara Insurance Industry Dialogue di St. Regis, Jakarta Selatan, Selasa (30/9).
Di ASEAN, capital requirement perusahaan asuransi juga beragam dan cenderung berada di atas Indonesia. Ia mencontohkan Malaysia dengan USD 10,5–USD 21 juta, Myanmar USD 2,9–USD 19 juta, Filipina USD 22 juta, Taiwan USD 62 juta, Thailand USD 8,1–USD 13,5 juta, dan Vietnam USD 12,4 juta. Sementara itu, Singapura justru lebih kecil yakni USD 7,4 juta.
Negara lain di luar ASEAN justru memiliki modal yang lebih tinggi lagi. Contohnya adalah China dengan USD 28 juta dan India USD 12 juta.
Maka dari itu, menurut Reza, transformasi perlu terus dilakukan baik dalam standar modal minimum maupun standar pelaporan keuangan internasional atau IFRS untuk perusahaan asuransi di Indonesia.
“Risiko mitigasi ini terus berjalan, baik itu ada di level bisnis maupun level ekonomi. Jadi kita membutuhkan kapasitas asuransi yang besar, kapasitas reasuransi yang besar. Kita juga transformasi baik itu di IFRS maupun juga di capital,” ujarnya.
Menambahkan, Direktur Teknik Indonesia Re, Delil Khairat, menjelaskan saat ini juga sudah ada POJK 23 Tahun 2023 yang menetapkan modal minimum untuk perusahaan asuransi yang lebih besar.
Dalam aturan itu perusahaan asuransi wajib memiliki ekuitas minimum sebesar Rp 250 miliar dan perusahaan asuransi syariah Rp 100 miliar. Ekuitas minimum itu harus dipenuhi setiap entitas paling lambat 31 Desember 2026.
“Itu adalah konsep atau sistem akuntansi baru untuk industri asuransi reasuransi yang juga berdampak pada kebutuhan capital yang lebih besar. Ditambah lagi POJK-POJK lain yang juga kemudian muaranya adalah memerlukan kekuatan capital yang lebih besar,” kata Delil.
Meski begitu, ia juga menjelaskan untuk memenuhi kebutuhan modal minimum yang besar tersebut juga tak bisa hanya dikejar dengan cara organik. Salah satu opsi yang bisa ditempuh perusahaan asuransi adalah berbagi risiko dengan perusahaan reasuransi.
“Jadi memang harus ada upaya yang sifatnya anorganik. Yang paling gampang adalah nambah capital. Shareholder-nya (reasuransi) suruh chip in, nambahin capital-nya supaya lebih besar,” ujarnya.