Mencicipi Tepo Tahu, Panganan Lawas yang “Original” dari Magetan

1

MAGETAN – Mbah Yanti (75), warga Desa Pacalan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur terlihat cekatan mengiris tepo -semacam lontong namun ukurannya lebih besar dengan bugkus daun pisang- dan menempatkannya di atas piring.

Lalu, tahu dan tempe goreng yang masih mengepul karena baru diangkat dari penggorengan diiris menjadi bagian lebih kecil.

Irisan tempe dan tahu yang panas tersebut kemudian ditempatkan di atas tepo, lalu ditutup dengan rebusan tauge dan daun seledri.

Adonan tersebut kemudian disempurnakan dengan kecap manis, dan terakhir disiram campuran air bawang dan sedikit minyak.

“Ini namanya tepo tahu original, asli dari mbah buyut saya. Saya keturunan ke tiga menjual tepo tahu di pasar sini,” ujar Yanti di balik meja pikul di belakang Pasar Plaosan, Kabupaten Magetan, Minggu (24/11/2024).

Indonesia Bakal Sulit Mengembangkan AI Artikel Kompas.id Yanti mengaku sudah 41 tahun menjual tepo tahu di pasar Plaosan, dan telah berpindah-pindah tempat jualan sebanyak tujuh kali.

“Sejak jaman pasar ada beringin besar dulu sudah jualan di situ. Terus beberapa kali pindah karena pasar dibangun, dan terakhir pindah karena pasar kebakaran kemarin. Pembeli tahu nyari saya di mana,” kata dia.

Tak ada penguat rasa, semua dibuat sendiri Yanti mengaku, hampir semua bahan pembuatan tepo tahu original jualannya dimasak sendiri.

Semua bahan sudah dipersiapkan sejak sore hari dengan pembuatan tepo yang dibuat dengan pilihan beras sari hasil panen sawah miliknya sendiri, atau tetangganya.

Daun pisang sebagai pembungkus tepo juga dipilih dari daun pisang klutuk yang akan membuat hasil teponya lembut dan gurih dengan beraroma wangi daun pisang.

“Beras dari hasil panen sendiri itu akan menghasilkan tepo yang empuk dan gurih dan bungkus daun pisangnya juga pengaruh pada wangi tepo,” kata dia.

Tak kalah penting bahan tepo tahu original Mbah Yanti adalah sambal kacang tanpa cabai sebagai ciri khas tepo tahu jualannya -yang juga diracik sendiri.

Bahannya adalah kacang tanah yang disangrai dengan campuran bawang putih, garam tanpa gula merah, sehingga sambalnya berwarna putih. Sambal tersebut sangat memengaruhi cita rasa tepo tahu jualannya.

Sementara, bahan lain seperti tauge dan daun seledri biasanya dia beli dipasar.

“Sambal kacang tanpa cabai kita ambil untuk rasa gurihnya,” ucap dia.

Ciri khas lain dari tepo tahu ini adalah tahu dan tempe yang digoreng langsung saat ada pembeli, sehingga rasa gurih dari tahu dan tempe terasa kuat saat disantap.

Kecap untuk memberikan rasa manis juga dipilih kecap tawon yang sudah menjadi langganan kakeknya sejak jaman dahulu.

“Untuk kecap ini juga kecap jaman kakek saya jualan, karena rasa kecap itu mendukung campuran sambal kacang dan tahu serta tempenya.”

“Yang membedakan tepo tahu saya adalah tidak menggunakan penguat rasa, hanya menggunakan bawang putih,” sambung dia.

Sariyem, lansia 81 tahun penjual sayuran di Pasar Plaosan yang terlihat masih gesit tersebut mengaku sudah puluhan tahun menjadi pelanggan tepo tahu Mbah Yanti.

Dia mengaku, dulu jualan Mbah Yanti sangat ramai pembeli.

Dia suka dengan tepo tahu original karena rasa tahu, tempe, sambal kacang serta tauge dan seledri bisa dirasakan masing masing.

“Senengnya karena enak. Saya bisa merasakan tempe, tahu dan teponya karena tidak banyak bumbu yang digunakan, sehingga rasa gurih sambal kacang itu terasa,” ujar dia.

Semetar Siran (77), petani Desa Singolangu, mengaku bisa seminggu sekali datang ke Pasar Plaosan membeli tepo tahu buatan Mbah Yanti.

Dia senang dengan rasa original tepo tahu Mbah Yanti yang menurutnya rasnya tidak berubah.

“Karena murah, satu porsi hanya Rp 6.000. Dulu tepo tahu ya seperti ini tidak ada telor goreng atau tambahan lainya,” ucap dia.

Yanti mengaku sebelum Pandemi Covid-19 bisa menghabiskan beras 15 kilogram dengan bantuan dua orang untuk membuat bahan dan jualan tepo tahu.

Sayangnya, saat ini dia hanya bisa menghabiskan tiga kilogram saja. Ketiga anaknya juga lebih memlih menggeluti bidang lainn, ketimbang membantu dia berjualan tepo tahu.

“Anak saya ketiga-tiganya memilih pekerjaan lain. Mungkin karena pasar sekarang sepi dibandingkan 10 tahun lalu.”

“Mungkin tidak ada lagi yang mau menggeluti jualan tepo tahu resep nenek moyang kami,” sebut Mbah Yanti lirih.(Kompas.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.