Katakota.com, -Keterlibatan perempuan dalam pencalonan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini dinilai masih kurang. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, menyatakan menurut data tingkat keikutsertaan perempuan di KPU hanya sekitar 17,44 persen.
“Sayangnya, hanya sedikit perempuan yang dipilih Tim Seleksi. Dari 172 perempuan di 16 provinsi hanya 30 persen yang masih diproses,” kata Titi di KPU RI Jakarta, Jumat (27/4).
Menurut Titi, kurangnya kehadiran perempuan tak hanya terjadi di KPU. Kondisi serupa juga terjadi di instiusi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di 25 provinsi di Indonesia.
“Hanya ada 14 perempuan yang ikut begabung dari total anggota KPU Provinsi 75 orang di 25 Provinsi,” ujar dia.
Titi memandang permasalahan ini harus mendapat perhatian khusus. Sebab, menurut dia keterwakilan perempuan bisa berdampak pada penjaminan hak politik perempuan sendiri.
Selain itu, Titi menyatakan kehadiran perempuan sebagai calon anggota KPU akan sangat membantu bagi calon legislatif perempuan pula. Hal itu menjadi ajang edukasi politik bagi perempuan.
“Ini juga sangat kena di bidang politik yang ramah secara psikologis. Ramah kepada kader politik perempuan yang mungkin untuk calon legislatif. Tapi bukan untuk kongkalikong,” ujar dia.
Sejauh ini, proses pemilihan anggota KPU sedang dalam masa uji kelayakan oleh KPU RI. Tiga provinsi dengan calon perempuan tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Utara sebanyak 40 persen, Sulawesi Selatan 28,6 persen dan DKI Jakarta sebanyak 21,4 persen.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, masih minim.
“Ada beberapa benturan yang buat perempuan lebih sulit masuk ke ranah politik,” katanya, di kantor Bawaslu, Jakarta, Minggu (10/6).
Padahal, lanjutnya, keberadaan perempuan penting untuk menghadirkan kebijakan penyelenggara pemilu yang adil tanpa memandang gender.
“Afirmasi perempuan diperlukan untuk memastikan kebijakan hulu ke hilir penyelengaraan pemilu tidak bias gender,” imbuhnya.
Menurut Titi, sedikitnya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu itu terjadi akibat sejumlah faktor.
Pertama, minimnya antusiasme perempuan untuk menjadi bagian dalam lembaga penyelenggara pemilu.
Kedua, anggapan perempuan di sejumlah daerah bahwa politik adalah sesuatu yang kurang baik.
Ketiga, kurangnya sosialisasi terkait proses rekrutmen dan tim seleksi juga dinilai kurang mendorong hadirnya perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu.
“Dan ini agar menjadi tekanan komitmen yang lebih konkret dari negara untuk melakukan cara-cara dan menyelenggarakan program dalam rangka memenuhi kewajiban itu,” kata Titi.
“Dan ini agar menjadi tekanan komitmen yang lebih konkret dari negara untuk melakukan cara-cara dan menyelenggarakan program dalam rangka memenuhi kewajiban itu,” kata Titi.
Sedikitnya keterakilan perempuan ini tergambar dari hasil seleksi anggota KPU periode 2018-2023. Sebanyak 12 provinsi masing-masing hanya memiliko satu perempuan anggota KPU.
Hanya Sulawesi Utara yang memiliki dua orang anggota perempuan KPU. Selain itu, DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan memiliki masing-masing tiga orang anggota perempuan.
Sementara, Kalimantan tengah tidak memiliki anggota KPU perempuan.
Padahal, kata Titi, “Kita punya banyak sekali sumber daya yang bisa mengisi posisi kelembagaan penyelengaraan pemilu perempuan.”
Sumber : CNNindonesia