SOSOK Muhammad Said Didu menjadi perbincangan hangat terutama di media sosial, setelah dirinya terlibat pembelaan terhadap warga di pesisir Tangerang, Banten, yang terdampak proyek pembangunan di kawasan Pantai Indah Kapuk.
Said Didu, yang memiliki pengalaman panjang dalam birokrasi dan dunia politik, mengambil pilihan berbeda dari banyak pensiunan birokrat pada umumnya, dengan mengadvokasi warga yang menuntut keadilan dari negara.
Sebelumnya, Said Didu memang sudah dikenal luas di kalangan birokrat dan penggiat sosial.
Kini ia makin mendapat perhatian publik setelah intensitas kemunculannya di media sosial dengan hastag #SaveSaidDidu menuai respons masif.
Pilihannya mendukung warga untuk mendapatkan hak-haknya yang terabaikan oleh pengembang proyek, yang menurutnya tidak adil terutama dalam kompensasi tanah yang digusur.
Dukungan Said Didu terhadap warga pesisir Tangerang bermula ketika proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2), Program Strategis Nasional (PSN), mulai menimbulkan kekhawatiran besar bagi warga yang tanahnya tergusur untuk pengembangan kawasan itu.
Said Didu kemudian ikut turun tangan untuk membantu warga mendapatkan hak-haknya yang diabaikan oleh pengembang dan pihak berwenang.
Sebagai bagian dari perjuangannya, Said Didu menyuarakan ketidakadilan terutama terkait masalah penggantian tanah yang tidak sesuai dengan nilai pasar yang wajar.
Advokasinya itu rupanya mengusik kepentingan kelompok tertentu.
Said Didu mendapat semacam serangan balik. Ia dilaporkan ke kepolisian, dan rencananya pada Selasa 19 November 2024, menjalani pemeriksaan perdana.
Atas kenyataan itu, banyak pengguna media sosial yang turut menyuarakan dukungan sekaligus penghargaan terhadap Said Didu. B
Muncul berbagai pembelaan terhadapnya di media sosial. Hastag #SaveSaidDidu mencapai lebih dari 17.500 postingan di platform X (sebelumnya Twitter).
Sejumlah tokoh juga menyatakan sikap “Stand With Said Didu” melalui video viral.
Tokoh publik yang tampil pasang badan antara lain, Mahfud MD, Syahganda Nainggolan, Abraham Samad, Denny Indrayana, Eep Saefulloh Fatah, dan masih banyak lagi tokoh lainnya.
Mahfud MD, misalnya, tampil layaknya pendukung utama Said Didu, menegaskan bahwa upaya kriminalisasi terhadap Said Didu adalah tindakan yang tidak sesuai dengan hukum.
Ia mengungkapkan bahwa laporan terhadap Said Didu berasal dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tidak senang atau terganggu dengan pembelaan terhadap warga Tangerang yang terdampak proyek PIK-2.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu kemudian menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan tidak memihak.
Menurut Mahfud, Said Didu hanya memperjuangkan hak-hak warga yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan pihak pengembang proyek.
Mahfud MD juga mengingatkan aparat penegak hukum agar tidak menyalahgunakan wewenang dalam menangani kasus tersebut. Ia berharap bahwa proses hukum yang dihadapi Said Didu dapat berjalan sesuai dengan prinsip keadilan.
“Menindaklanjuti laporan adalah tugas polisi agar semua clear.
Tetapi keadilan dan kebebasan berekspresi juga mengkritik seperti yang dilakukan Didu adalah hak konstitusional. Jadi Polisi harus profesional menangani pengaduan itu.
Tidak semua laporan harus dijadikan kasus pidana,” ungkap Mahfud MD.
Ia juga menjelaskan bahwa perjuangan Said Didu bukanlah untuk kepentingan pribadi, tetapi semata-mata untuk keadilan sosial.
“Said @msaid_didu menyuarakan “rasa” ketidakadilan dlm pembebasan tanah PIK 2 di Banten.
Karena PIK 2 dijadikan Proyek Strategis Nasional (PSN) harga/pengganti tanah hanya sekitar Rp 50.000/M2.
Sementara petugas yg membebaskan/meratakan tanah bisa minum es yang sekali beli seharga 100.000,-,” tulis Mahfud di platform X miliknya.
Mahfud MD mengingatkan pihak berwenang untuk tidak mengkriminalisasi Said Didu dalam upayanya memperjuangkan hak-hak warga. Banyak pihak berharap sama agar proses hukum (bila ada) dapat berjalan secara adil.
Tidak ada penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.
Masyarakat pun berharap agar langkah Said Didu ini dapat menjadi contoh bagi tokoh-tokoh publik lainnya untuk lebih peduli terhadap nasib warga kecil yang sering terpinggirkan.
Perlawanan Kolektif Apa yang diperjuangkan Said Didu, pun serangan balik terhadapnya, yang kemudian memantik warganet dan sejumlah tokoh publik membelanya, telah menjadi semacam perlawanan kolektif.
Tidak saja terhadap ‘kriminalisasi’ terhadap dirinya, tapi juga atas ketidakadilan yang menimpa warga.
‘Stand With Said Didu’ bukan urusan personal semata, tapi menunjukan posisi berdiri antara warga terdampak, warganet, tokoh publik dengan pengembang atau korporasi.
Menjadi satu bentuk perlawanan kolektif terhadap ketidakadilan.
Menunjukan bahwa dengan soliditas bersama, melalui dukungan yang dialamatkan kepala Said Didu lewat platform digital telah menjadi katalisator dalam menyuarakan aspirasi, memperjuangkan kepentingan, dengan harapan ada perubahan kebijakan terkait hak-hak warga.
Itu artinya, serangan balik atau ‘kriminalisasi’ terhadap Said Didu, sejauh ini telah menjadi momentum perlawanan kolektif yang tidak bisa dianggap remeh.
Kepolisian harus lebih jeli dan hati-hati menyikapi situasi semacam ini.
Pendapat para tokoh, apalagi sekaliber Mahfud MD, mantan Menko Polhukam pada pemerintahan sebelumnya, sejatinya adalah ‘early warning’. Patut untuk didengar bila tak ingin muncul sentimen yang sulit dikendalikan ketika ada interpretasi kolektif yang menemukan relevansi.
Era media sosial telah dengan mudah memicu atau memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang dalam sentimen yang selaras untuk berkumpul, saling berbagi informasi, dan mengorganisasi aksi secara cepat dan luas. Apalagi pada isu-isu ketidakadilan yang di antaranya telah lama mengendap di publik.
Perlawanan kolektif yang eksesif seperti yang kita saksikan di berbagai tempat di belahan dunia, mengajarkan pada kita bahwa pengorganisasian sentimen massa melalui tagar, unggahan viral, atau grup diskusi bisa menjadi sangat efektif.
Misalnya melalui gerakan tagar #BlackLivesMatter, #MeToo, atau gerakan di Indonesia pernah santer seperti #ReformasiDikorupsi. Lewat aksi di media sosial, informasi tentang ketidakadilan dapat disebarkan secara real-time melalui foto, video, atau teks.
Media sosial juga memungkinkan jurnalisme warga, di mana individu di lapangan melaporkan peristiwa langsung tanpa penyaringan seperti pada institusi media arus utama, yang bisa memperkuat polarisasi.
Said Didu serta solidaritas yang saat ini mengiringnya, bila salah kelola bisa turut memicu lahirnya sentimen yang berujung pada perlawanan kolektif yang makin menguat dan tak terkendali.
Perlawanan kolektif lewat media sosial menunjukkan bagaimana teknologi komunikasi dapat menjadi alat efektif untuk melawan praktik ketidakadilan.
Apalagi bila kemudian gerakan online ditindaklanjuti dengan aksi offline yang strategis, berkelanjutan dan meluas.
Apa yang dialami Said Didu sejatinya adalah manifestasi dari perlawanan terhadap kekuatan korporat yang bisa jadi telah semena-mena.
Dalam banyak pengalaman, kekuatan korporasi yang didukung oleh finansial, politik dan hukum yang kuat kerap sulit untuk dikalahkan, bisa seperti ada negara dalam negara. Itu sebabnya, melawan korporasi semena-mena bukanlah hal mudah.
Namun, kekuatan kolektif masyarakat, didukung teknologi digital (media sosial) dan advokasi hukum, dapat menciptakan atau mendorong adanya perubahan dalam relasi.
Apalagi pemerintah lewat aparat keamanan lebih peka dan bisa menangkap aspirasi yang berkembang, kemudian bersikap adil dan objektif, tentu polemik atau persoalan bakal selesai tanpa drama berlebih yang menguras energi publik.(kompas.com)